Sabtu, 20 Februari 2010

KOMITMEN PERS DALAM MENEGAKKAN KODE ETIK

KOMITMEN PERS
DALAM MENEGAKKAN KODE ETIK
(Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Sistem Pers)

Oleh :
Fitriyah Retnoningsih (05152016)
Anindya Kharisma P. (05152013 )

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2007

BAB I
PENDAHULUAN

Para ahli komunikasi masa berkeyakinan bahwa pers adalah sebuah “kekuatan besar“ untuk membentuk dan mempengaruhi kepribadian umat manusia. Pers memiliki power (kekuasaan, keperkasaan) dalam menentukan kualitas perjalanan hidup seseorang, kelompok bahkan bangsa. Itu sebabnya, tidak mengherankan jika Napoleon Bonaparte mengakui keunggulan pers. Ia pernah berkata “saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan dari pada seribu bayonet musuh“.
Teoritisi dan praktisi pers juga mengakui, pers adalah “cermin masyarakat”, kalau kita ingin melihat kualitas sebuah kelompok masyarakat, tengoklah persnya. Kalau persnya amburadul, hampir bisa dipastikan masyarakatnya demikian.
Pers juga merupakan lembaga sosial. Posisi ini memdorong pers harus selalu berupaya membukitikan komitmennya terhadap segala kebutuhan informasi publik.
Pengembangan profesionalisme pers menjadi salah satu alternatif, sebab bila pers tidak commited terhadap profesionalismenya yang bersifat universal, pers akan terjebak pada “dosa profesi” yang sulit mengantarkan performance (kinerja) media menjadi baik.
Salah satu tuntutan profesionalisme pers adalah mengutamakan identitas media massa, yaitu rangkaian faktualitas, aktualitas dan objektifitas. Ketiga unsur ini merupakan falsafah hidup makhluk rasional, yaitu nilai dan kepentingan kemanusiaan. Hanya saja, sisi idealis pers acap kali tidak tampil konsisten dalam prakteknya. Praktek pers sering tidak membuka pintu (akses) lebar-lebar bagi seluruh minat umat manusia (konsumen pers) kearah aktualisasi nilai dan kepentingan kemanusiaan.
Diperlukan penegasan komitmen pers tehadap nilai dan kepentingan kemanusiaan. Komitmen tersebut harus didasarkan dan berbasis profesionalisme, yang diwujudkan dalam sikap serta tindakan pemberitaan atau isi media massa lainnya yang beradab dan terpuji. Basis praktis ini akan menghindarkan kekuatan, kekuasaan dan keperkasaan media massa dari segala sesuatu yang bertentangan dengan nilai serta kepentingan kemanusiaan dan juga hal-hal yang tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Seperti statemen P.Dahlan Iskan, CEO Jawa Pos Group “pers yang sehat adalah pers yang bisa membiayai diri sendiri, mengembangkan diri serta memenuhi kewajiban dengan baik. Sedangkan pers yang tidak baik hannya akan membuat masyarakat tidak sehat pula”. Dalam kata “memenuhi kewajiban yang baik” bisa ditelaah lebih lanjut., bahwa pers harus bisa menjalankan dengan baik kewajiban sebagai pers, baik dalam segi kebaikan dalam komitmen maupun kebaikan dalam praktek pers itu sendiri dengan berpegang teguh pada undang-undang pers serta kode etik jurnalistik.


BAB II
PEMBAHASAN


A. Kebebasan Pers dan Komitmen Pers
“tidak pernah ada kelaparan di Negara yang memiliki pemerintah demokratis dan kebebasan pers” (Amartya Sen).
Apa yang hendak diungkapkan oleh Sen di atas tidak lain adalah pentingnya jaminan kebebasan pers demi menciptakan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Semangat kritis dan komitmen dalam menguak praktek-praktek birokrasi yang dilakukan oleh lembaga jurnalistik terhadap penyelenggara negara sebagai subjek utama pelayanan public adalah merupakan amanah rakyat sebagai salah satu bentuk control dari public. Seperti perkataan Bagiyo Prasasti, sekertaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang “komitmen pers terhadap demokrasi sudah tidak perlu diragukan lagi karena dia dilahirkan dan dibesarkan untuk mengabdi kepada demokrasi sebagai pilar ke empat”.
Kebebasan merupakan satu hal yang fundamental bagi pers karena salah satu tugas utama dari pers bukanlah untuk menjilat yang berkuasa, memutar balikkan fakta, memberitakan atau menginformasikan berita yang salah dan tidak akurat. Namun sebaliknya, tugas pers adalah mengkritik dan setidaknya memberitahukan kepada pemerintah tentang kesalahannya itupun harus proporsional dan bukan berarti bebas yang tidak terbatas. Itu berarti, dalam mekanisme system pers, kebebasan pers otomatis harus tetap memperhatikan segala aspek, terutama aspek ketertiban. Dalam bahasa hukum, itu berarti dibalik kebebasan pers yang besar, pers juga mendapat pengaturan-pengaturan sebagai batas kebebasannya.
Kebebasan pers memang dibutuhkan mengingat fungsi yang seharusnya dijalankan oleh pers sebagai kontrol sosial dari jalannya pemerintahan. Pers merupakan the fourth estate of government. Disini, pers harus memegang teguh asas editorial independence agar obyektifitas (tidak berpihak) tetap terjaga dari fungsi sosialnya (sebagai mediator atau penyampai informasi bagi masyarakat dan pemerintah)
Pers dan kemerdekaan pers adalah suatu wujud dari kedaulatan rakyat, dimana dalam wacana jurnalisme posisi pers adalah menjadi pilar ke empat demokrasi setelah fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Tapi sekalipun pers memiliki kebebasan untuk menjalankan fungsi dan tugasnya, apalagi dilindungi undang-undang pers, pers harus tetap bekerja sesuai kode etik jurnalistik. Tidak bekerja seenaknya yang penting dapat memberikan informasi kepada masyarakat. Begitu juga dalam pemberitaan, penerbitan pers tidak bisa seenaknya dalam pemberitaan dengan mengatasnamakan kebebasan pers, melaikan pers harus betul-betul komitmen dengan kegiatan jurnalistik baik dalam keseimbangan informasi, akurasi data serta profesionalisme tim kerja redaksi. Sehingga tidak ada penilaiaan kebebasan pers yang dinilai kebablasan.
Kebebasan berekspresi juga merupakan prasyarat bagi pers yang bebas. Dengan kebebasan itu pers menjadi wakil kepentingan publik melakukan kontrol atas kekuasan atau siapapun. Dalam melakukan tugas penting itu, pers harus bisa bersikap independen dan profesional berdasarkan prinsip dan kaidah jurnalistik.
Bill Kovach dan Tom Rosensteil (2001) telah meletakkan sembilan prinsip jurnalisme yang menjadi indikator profesionalisme seorang jurnalis, yakni:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran.
Kebenaran jurnalistik adalah suatu proses yang dimulai dengan disiplin profesional dalam pengumpulan dan verifikasi fakta, kemudian menyampaikan makna tersebut dalam laporan yang adil dan terpercaya, berlaku untuk saat ini, dan dapat menjadi bahan infestigasi lanjutan
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
Prioritas komitmen kepada warga masyarakat dan kepentingan publik yang lebih luas diatas yang lainnya. Hal ini merupakan basis kepercayaan sebuah organisasi berita. Media harus dapat menjamin kepada audiencesnya bahwa liputan itu tidak diarahkan demi kawan dan pemasang iklan. Kepercayaan inilah yang membangun audiences yang luas dan setia.
3. Inti jurnalisme adalah disiplin melakukan verifikasi.
Jurnalis mengandalkan diri pada disiplin profesional untuk memverifikasi informasi. Mencari berbagai saksi, menyingkap sebanyak mungkin sumber, atau bertanya berbagai pihak untuk komentar, semua mengisyaratkan adanya standar yang profesional. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan bentuk-bentuk komunikasi yang lain, seperti propaganda, fiksi atau hiburan.
4. Para jurnalis harus memiliki kebebasan dari sumber yang mereka liput.
Kebebasan adalah syarat dasar jurnalisme. Yang menjadi sebuah landasan dari kepercayaan. Kebebasan jiwa dan pemikiran adalah prinsip yang harus dijaga oleh jurnalis. Walaupun editorialis dan komentator tidak netral, namun sumber dari kredibilitas mereka adalah tetap, yaitu akurasi, kejujuran intelektual dan kemampuan untuk menyampaikan informasi, bukan kesetiaan pada kelompok atau hasil tertentu.
5. Jurnalis harus mengemban tugas sebagai pemantau yang bebas terhadap kekuasaan.
Prinsip ini menekankan pentingnya peran penjaga watchdog. Selain jurnalis kita wajib melindungi kebebasan peran jaga ini dengan tidak merendahkannya, misalnya dengan menggunakan dengan cara sembarangan atau mengeksploitasinya untuk keuntungan komersial.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum untuk kritik dan komentar publik.
Diskusi pulik ini bisa melayani masyarakat dengan baik jika mereka mendapatkan informasi berdasarkan fakta, dan bukan atas dasar prasangka atau dugaan. Selain itu, berbagai pandangan dan kepentingan dalam masyarakat harus terwakili dengan baik.
7. Jurnalisme harus berusaha mebuat yang penting menjadi menarik dan relevan.
Jurnalisme adalah bercerita dengan suatu tujuan. Karena itu, jurnalisme harus berbuat lebih dari sekedar mengumpulkan audiences atau membuat daftar penting. Demi mempertahankan hidupnya sendiri, jurnalisme harus mengimbangi antara apa yang menurut pembaca mereka inginkan, dengan apa yang mereka tidak bisa harapkan tetapi sesungguhnya mereka butuhkan.
8. Jurnalisme harus menjaga agar beritanya proporsional dan komprehensif.
Menjaga berita agar tetap proporsional dan tidak menghilangkan hal-hal yang penting adalah juga dasar dari kebenaran.
9. Jurnalis itu memiliki kewajiban utama terhadap suara hatinya
Setiap jurnalis harus memiliki rasa etik dan tangungjawab. Kita harus mau bila rasa keadilan dan akurasi mewajibkan untuk menyuarakan perbedaan dengan rekan-rekan kita apakah itu diruang redaksi atau di kantor eksekutif.
B. Kode Etik Jurnalistik
Kode etik jurnalistik adalah acuhan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode etik jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi keorganisasi yang lain, dari satu koran ke koran yang lain, namun secara umum dia berisi hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung jawab seorang wartawan kepada publik pembacanya:
 Tanggung jawab  tugas atau kewajiban seorang wartawan adalah mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum dengan memberi informasi kepada masyarakat yang memungkinkan masyarakat membuat penilaian terhadap sesuatu masalah yang mereka hadapi. Wartawan tidak boleh menyalahgunakan kekuasan untuk motif pribadi atau tujuan yang tak berdasar.
 Kebebasan  kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat adalah milik setiap anggota masyarakat dan wartawan menjamin bahwa urusan publik harus diselenggarakan secara publik. Wartawan harus berjuang melawan siapa saja yang mengeksploitasi pers untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
 Independensi  wartawan harus mencegah terjadinya benturan–kepentingan dalam dirinya. Dia tak boleh menerima apapun dari sumber berita atau terlibat dalam aktifitas yang bisa melemahkan integritasnya sebagai informasi atau kebenaran.
 Kebenaran  wartawan adalah mata, telinga dan indra dari pembacanya. Dia harus senantiasa berjuang untuk memelihara kepercayaan pembaca dengan meyakinkan kepada mereka bahwa berita yang ditulisnya adalah akurat, berimbang dan bebas dari bias.
 Tidak memihak  laporan berita dan opini harus secara jelas dipisahkan. Artikel opini harus secara jelas diidentifikasikan sebagai opini.
 Adil dan ksatria (fair)  wartawan harus menghormati hak-hak orang yang terlibat dalam berita yang ditulisnya serta mempertanggung jawabkan kepada publik bahwa berita itu akurat serta fair. Orang yang dipojokkan oleh sesuatu fakta dalam berita harus diberi hak untuk menjawab.

C. Perilaku Pers Bermasalah Serta Sanksinya
Memang terdapat kesepakatan bahwa pers harus bebas dari segala macam tekanan. Namun bukan berarti bebas kemudian hilang kendali hingga tidak terbatas. UU pers yang baru dibuat untuk memenuhi tuntutan dan mengikuti perkembangan jaman, tetapi kemudian pada prakteknya jangan sampai hal-hal yang tidak diatur oleh UU pers diabaikan. Misalnya, delik atau perilaku yang bermasalah dari pers yang tidak diatuar oleh UU pers yang baru, jangan kemudian KUHPidana dihilangkan begitu saja.
Walau bagaimanapun, pers juga tidak bisa terlepas dari hukum jika ia melanggarnya. Itu juga yang terjadi pada masa UU pers yang terdahulu, KUHPidana tetap digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi yang menyangkut pers. Oleh sebab itu, jika memang dalam era kebebasan informasi ini dituntut suatu kebebasan, maka bukan berarti bebas sebebas-bebasnya, tetapi juga ada batasan tertentu yang tidak menekan buat kalangan pers tentunya.
Seperti contohnya pada wartawan, sudah seharusnya jika menjadi seorang wartawan apalagi yang profesional, dia harus memiliki pengetahuan jurnalistik sebagai dasar untuk menjalankan profesi kewartawanan dan ketrampilan untuk memberikan informasi dengan menggunakan bahasa komunikasi yang tepat, benar, akurat, dan objektif berlandaskan pengetahuna dan ketrampilan yang dimiliki oleh wartawan sehingga masyarakat mengerti dan tertarik apa yang disajikan berdasarkan informasi tersebut. Dalam pencarian dan penulisan berita, wartawan terikat dengan KEWI (Kode Etik Wartawan Indonesia) yang merupakan landasan moral dan etika profesi yang bisa menjadi pedoman opersional dalam menegakkan integritas dan profesionalitas wartawan. Jadi, dalam segala bentuk baik itu pencarian berita, penulisan dan hal lainnya yang menyangkut kerja kewartawan, seorang wartawan wajib menjunjung tinggi kode etik kewartawanan tersebut. Untuk pelaksanaan, pengawasan dan penetapan sanksi atas pelanggaran kode etik ini sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
Terdapat dua pengertian tentang tindak pidana pers (Delik Pers) yaitu:
1. Tindak pidana pers (Delik Pers) adalah tidak pidana yang diatur dalam UU pers dalam hal ini tindak pidana yang diatur dalam UU nomer 40 tahun 1999
2. Tindak pidana pers (Delik pers) adalah tindak pidana yang dilakukan oleh insan pers berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum pidana diluar undang-undang pers.
Tindak pidana yang diatur dalam UU pers berlaku terhadap:
1. Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan kemerdekaan pers, dalam mencari, memperoleh dan menyampaikan gagasan dan informasi, berdasarkan pasal 18 ayat 1 UU nomer 40 tahun 1999 di ancam pidana penjara paling lama 2 tahun dan denda maksimal Rp. 500 juta. (pasal ini jelas tidak dapat diberlakukan terhadap wartawan).
2. Perusahaan pers yang melakukan perbuatan tanpa menghormati norma-norma agama, rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah, sebagaimana ditentukan pasal 5 ayat 1 UU nomer 40 tahun 1999, dan tidak melayani hak jawab sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 5 ayat 2, maka diancam hukuman berdasarkan pasal 18 ayat 2 UU nomer 40 tahun 1999.
3. Perusahaan pers tidak berbentuk badan hukum Indonesia berdasarkan aturan pasal 9 ayat 2 UU nomer 40 tahun 1999, diancam hukuman berdasarkan pasal 18 ayat 3 UU pers.
Pada dasarnya, permasalahan delik pers tidak perlu menjadi masalah karena untuk delik yang tidak diatur dalam UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers telah ada pengaturannya dalam kitab UU hukum pidana (KUHP).

D. Sejarah perkembangan pers di Indonesia
a. Pada masa penjajahan Belanda dan Jepang
Sejak pertama terbit, pers Indonesia menjalani berbagai penekanan. Dibanding dengan penerbitan pers pertama di Eropa 15 januari 1609, pers di Indonesia baru terbit sekitar 135 tahun kemudian. Tahun 1712 upaya penerbitan surat kabar pertama di Jakarta yang berjudul “untuk kabar dalam negeri, berita kapal dan semacamnya” gagal. Kemudian pada tahun 1744 terbit surat kabar yang dicetak dengan nama Bataviasche Nouvelles en Politiqui Raisonnementes tetapi surat kabar yang diterbitkan J.E Jorden itu hanya dapat bertahan 2 tahun karena terkena brangus. Pada tahun 1856 telah terbit soerat kabar bahasa melayoe yang diterbitkan di Surabaya dalam bahasa Indonesia. Surat kabar ini diterbitkan oleh perusahaan belanda ditujukan untuk kalangan orang cina di Indonesia. Surat kabar itu termasuk deretan pertama dalam pers Indonesia.
Ciri pers Indonesia pada mulanya jelas memperlihatkan kualitas yang cukup buruk . kelemahan tersebut terlihat baik dari segi isi, penampilan maupun gaya bahasa pada saat itu. Walaupun demikian, pers Indonesia tetap bisa memberikan semangat nasionalisme pada zaman penjajahan belanda. Dan akhirnya lebih condong sebanyak mungkin mengemukakan gagasan politiknya ketimbang memperlihatkan pengelolaan dari segi jurnalistik dalam arti yang sebenarnya.
Pers di Indonesia dalam sejarah sering disebut berperan penting dalam menyebarluaskan gagasan kebangsaan Indonesia dan memperjuangkan kemerdekaan. Pada era kolonial pers Indonesia dikekang, banyak tokoh pers di penjara atau diasingkan, di dakwa menyebarkan perasaan kebencian serta penghinaan terhadap pemerintahan belanda, hanya karana menyampaikan informasi faktual tentang penderitaan rakyat. Era tiga tahun penjajaha jepang pers sempat mengalami masa mati suri, karena pers hanya boleh hidup jika menjadi alat propaganda jepang.
b. Pada Masa Orde Lama
Setelah proklamasi kemerdekaan, pers kembali menyuarakan semangat kemerdekaan dan mengajak segenap bangsa untuk mengisi kemerdekaan itu.
Kehidupan pers relatif bebas pasca proklamasi kemerdekaan 1945, namun membangun bangsa yang baru merdeka ternyata tidak mudah. Berbagai persoalan dan konflik kepentingan yang merundung Indonesia yang masih berusia muda menyebabkan kebebasan pers, dan kebebasan rakyat pada umumnya, harus selalu dalam bayang-bayang kepentingan kekuasaan. Kebebasan pers dibungkam demi kepentingan pemeliharaan ketertiban umum dan perseteruan politik anak-anak bangsa.
c. Pada Masa Orde Baru
Pada masa awal pemerintahan orde baru pers kembali menikmati kebebasan (periode 1966-1974), hubungan saling pengertian antara pers dan pemerintah berjalan baik. Periode ini sering disebut dengan era bulan madu pemerintah dengan pers. Namun bulan madu tersebut hannya berlangsung selama 8 tahun. Ketika meletus peristiwa malari (15 januari 1974), pers dinilai turut memanaskan situasi, akibatnya tujuh surat kabar di terkemuka di Jakarta di brangus, dan diizinkan terbit kembali setelah sejumlah pemimpin redaksi menandatangani surat pernyataan maaf kepada pemerintah, yang kemudian menjadi momentum lahirnya. “jurnalisme pembangunan” yang diintrodusir pemerintah, sebagai kedok untuk membungkam kebebasan pers.
Pembungkaman terhadap kebebasan pers selalu merupakan simtom awal perampasan kedaulatan rakyat, suatu bentuk pengkhianatan terhadap wawasan kebangsaan. Sekuat apapun konsolidasi kekuasaan yang merampas kedaulatan rakyat, pada akhirnya kekuasaan semacam itu tumbang juga. Soeharto tumbang oleh hasrat rakyat yang ingin merebut kembali kedaulatanya.
Pada masa orde baru, semangat orde baru adalah semangat pembangunan. Maka media massapun memiliki komitmen yang jelas yaitu mendukung pembangunan dan menegakkan keadilan serta kebenaran. Sedangkan pagarnya sudah jelas yaitu UUD ’45, pancasila, kode etik jurnalistik dan nilai-nilai yang berkembang dalam bermasyarakat dan berbangsa.
d. Pada Era Reformasi
Era reformasi menandai tumbuhnya kesadaran untuk membentengi kedaulatan rakyat dengan ketentuan hukum yang dapat menjamin kedaulatan itu, seperti penegakan hak asasi manusia, termasuk jaminan terhadap kebebasan pers (melalui UU no 40 tahun 1999) sebagai hak asasi warga negara.
Perkembangan pers di era reformasi ini bukan tanpa masalah. Pertama, sekitar 70 persen media cetak berkategori belum sehat bisnis. Yang ke dua, sebagian besar penyelenggara negara-legislatif, eksekutif dan yudikatif-masih bertradisi tidak menghargai kemerdekaan pers.
Tekanan dan serangan pada pers Indonesia selama masa reformasi menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat kita tidak sepenuhnya memahami ikatan antara kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat. Pembatasan dan petunjuk oleh pemerintah ala jaman orde baru memang sudah tidak ada, namun seberapa jauh media dapat bergerak, masih sering membingungkan. Para wartawan dan redaktur masih harus meraba berapa jauh masyarakat dapat memberi keleluasaan.
Tapi gerakan reformasi bukanlah sama sekali tanpa hasil. Kebebasan pers yang kita nikmati sekarang adalah salah satu buah gerakan reformasi, yang harus disyukuri dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan rakyat. Kebebasan pers adalah salah satu aset atau modal penting untuk meneruskan sebagian proses reformasi yang telah berjalan.
Pada masa reformasi, para pengelola media memperkuat institusi medianya dengan meningkatkan profesionalisme. Bersamaan dengan itu, mereka juga harus menegaskan kembali komitmen pers Indonesia sebagai “pers perjuangan”. Yaitu, pers yang bukan sekedar hidup untuk mencari profit, tetapi juga ikut mengemban tanggung jawab bagi kemenangan cita-cita dan perjuangan reformasi.


BAB III
KESIMPULAN

Kehidupan pers di Indonesia semakin berkembang pesat, apalagi dengan adanya kebebasan pers sekarang ini, ditambah dengan dukungan perkembangan teknologi yang kian hari semakin canggih khususnya tehnologi dibidang komunikasi informasi. Sepertinya tidak sulit bagi kita sebagai masyarakat (konsumen pers) untuk mendapatkan informasi yang kita inginkan.
Pers memegang komitmen yang besar dalam menjalankan kegiatannya untuk menyajikan informasi yang berkualitas dan beretika. Hak masyarakat untuk memperoleh informasi jelas merupakan sebuah tugas yang harus dipenuhi oleh pers. Dimana pers harus bisa menjadi mediator bagi masyarakat untuk memperoleh informasi, mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar. Dan juga dalam peranannya, pers melakukan pengawasan, kritik, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, memperjuangkan keadilan serta kebenaran (UU pers pasal 6 huruf c,d dan e).
Dalam hal ini, pers tidak perlu ragu-ragu memberitakan informasi untuk kepentingan masyarakat luas karena pers mempunyai kebebasan dalam menjalankan tugas, fungsi dan peranan pers itu sendiri. Kebebasan pers dilindungi oleh UU pers. Tapi sekalipun ada UU pers yang melindungi, pers harus bergerak sesuai kode etik jurnalistik dan tetap memperhatikan segala aspek, terutama aspek ketertiban. Karena akan ada sanksi bagi pers yang bermasalah, walaupun tidak diatur oleh UU pers, KUHPidana tetap digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang terjadi yang menyangkut pers.
Kemerdekaan pers harus dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum. Sehingga kemerdekaan pers adalah kemerdekaan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya penegakan supremasi hukum dan tanggung jawab profesi. pada akhirnya terlihatlah pers yang tegas dalam berkomitmen dan berjalan sesuai dengan etika yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar